TUGAS
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Pemilu, Golput, dan Aspirasi Agama dalam Demokrasi
Disusun
oleh:
Ardian.pradinata
/ 11212045
2EA02
UNIVERSITAS
GUNADARMA
FAKULTAS
EKONOMI
MANAJEMEN
Bab I. Pendahuluan
1.1
Kata Pengantar
Dengan menyebut puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa,
dan berkat Rahmat-nya saya dapat menyelesaikan makala ini dengan judul “Demokrasi
Pemilu, Golput, Aspirasi agama Demokrasi”. Makala ini dibuat berdasarkan tugas
dari mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.
Serta saya mengucapkan terima kasih kepada teman-teman serta
para sumber-sumber yang telah membantu saya dalam menyelesaikan makala ini. Saya
ucapkan terima kasih juga kepada Bapak Dosen Emilianshah Banowo karena telah
memberikan saya kesempatan untuk membuat makala ini.
Karna keterbatasan waktu , tenaga, dan kemampuan, saya
menyadari makal ini jauh dari sempurna. Oleh karna itu, saya mengharapkan para
pembaca dapat memaklumi setiap kekurangan tulisan, arti, maksud dan tujuan yang
ingin saya sampaikan.
Tidak lupa juga saya ucapka terimakasih serta hormat atas
segala bimbingan, pengarahan dan yang telah memberikan bantuan, sehingga saya
dapat menyelesaikan makala ini. Terimakasih dan semoga makala ini dapat
bermanfaat bagi saya pribadi dan juga bagi yang membaca.
1.2
Latar Belakang
Indonesia adalah dikenal sebagai Negara demokrasi tapi banyak
masyarakat yang belom memahami tentang apaa itu demokrasi sehingga masih banyak
para masyarakat yang Golput dalam memilih di pemilu.
Lain dengan negara
yang sistem demokrasinya belum ajeg dan/atau yang demokrasinya bohong-bohongan.
Penguasa (incumbent), dengan segala cara mendorong rakyatnya untuk
menggunakan hak pilih (sudah tentu untuk memilih diri atau partainya).
1.3 Identifikasi Masalah
Identifikasi
masalah ini adalah bagaimana respon masyarakat terhadap GOLPUT yang kerap
terjadi di Negara Indonesia Pemilu dimana masyarakat menjadi subject dan sekaligus object sebagai
pelaksana dari Demokrasi yang seharusnya terjadi dengan baik, berdasarkan asas
Pemilu jujur dan adil.
Bab II. Pembahasan
A. Makna
Pemilu dalam Demokrasi.
Pengertian
pemilu menurut UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu. Pemilu adalah sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam negara kesatuan RI yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
Pemilu
diselenggarakan secara demokratis dan transparan, jujur dan adil dengan
mengadakan pemberian dan pemungutan suara secara langsung, umum, bebas, dan
rahasia. Jadi berdasarkan Undang-undang tersebut Pemilu menggunakan azas
sebagai berikut :
·
Jujur
·
Adil
·
Langsung
·
Bebas
·
Umum
·
Rahasia
Tujuan Pemilu di Indonesia
Adalah untuk memilih wakil-wakil yang duduk di DPR, DPRD I dan DPRD II.
Pemilihan Umum bagi suatu negara demokrasi sangat penting artinya untuk menyalurkan kehendak asasi politiknya, antara lain sebagai berikut:
Adalah untuk memilih wakil-wakil yang duduk di DPR, DPRD I dan DPRD II.
Pemilihan Umum bagi suatu negara demokrasi sangat penting artinya untuk menyalurkan kehendak asasi politiknya, antara lain sebagai berikut:
- untuk mendukung atau mengubah personel dalam lembaga legislatif
- adanya dukungan mayoritas rakyat dalam menentukan pemegang kekuasaan eksekutif untuk jangka waktu tertentu.
- Rakyat (melalui perwakilan) secara periodik dapat mengoreksi atau mengawasi eksekutif.
Dalam
demokrasi (demos – rakyat; kratos atau kratein – kekuasaan,
Latin), demokrasi tanpa embel-embel apapun, pemegang otoritas kekuasaan lahir
dari adanya mandat atau kepercayaan rakyat. Melalui pemilu, rakyat
memberikan kepercayaan kepada seseorang, atau sekelompok orang (yang adalah
rakyat juga), yang dinilai memiliki aspirasi sama dan berkemampuan, untuk
memimpin, mengatur, dan mengelola negara. Pemilu adalah cara paling sahih
memperoleh figur terbaik bangsa (best of the best), dalam batasan
periode waktu tertentu, untuk menjadi pemimpin dan/atau menjadi wakil rakyat
(sistem presidensial) atau, wakil partai politik (sistem parlementer). Melalui
pemilu akan dihasilkan pemerintahan yang tidak semata legal (sah) namun
juga legitimate (memeperoleh dukung nyata dari rakyat). Agar tidak bias
dan ada kepastian, demokrasi mengenal asas, suara
minimal
50% + 1, sebagai syarat adanya pengakuan dan keabsahan untuk menjadi pemimpin
dan/atau untuk menerbitkan kebijakan negara. Pemilu adalah konsekuensi logis
dari demokrasi yang berkedaulatan rakyat.
Kedaulatan
rakyat maknanya rakyat bebas bersikap, tanpa (merasa) dipengaruhi oleh apa atau
siapapun. Koridor kedaulatan adalah undang-undang (mengatur hubungan sesama
warga dan mengatur hubungan warga negara dengan negara) dan etika bernegara.
Kebebasan, dalam kaitannya dengan negara, adalah bagian dari hak asasi manusia
(HAM) yang dideklarasikan PBB (1946) sebagai antitesa atas sistem
fasis-isme/nazi-isme yang nyaris memporak-porandakan nilai-nilai kemanusiaan.
Deklarasi HAM, adalah kesepakatan antar negara (yang mau meratifikasinya dalam
undang-undang) untuk melindungi warga negara dari ekses kekuasaan negara
(pasca-Orde Baru, Indonesia baru meratifikasi HAM). Dengan kedaulatan rakyat
dimaksudkan, rakyat bebas berkumpul dan berserikat, bebas menyatakan pendapat,
bebas memilih dan dipilih dan, bebas pula untuk tidak mau dipilih dan tidak
memilih. Dalam demokrasi, memilih adalah hak, bukan kewajiban.
B. Fenomena
Golput.
Fenomena golput seringkai diidentifikasikan dengan
"gerakan protes" terhadap penyelenggaraan pemilihan umum dan pilkada
itu muncul hanya setiap lima tahun sekali, namun yang penting untuk diketahui
dari gerakan itu adalah makna dan sasaran yang ingin dicapainya serta
implikasinya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di
negara yang sistem demokrasinya berjalan normal, sudah biasa kalau pemilu
‘hanya’ diikuti +/- 60% konstituen pemilih bahkan kurang dari itu. Sebagai
misal, di Amerika Serikat, berdasarkan data yang dilansir Federal Election
Commission (FEC), angka partisipasi dalam pemilu Presiden 2004 hanya
mencapai 55,3%. Sementara pemilu legislatif 2006 hanya berhasil menyedot 36,5%
suara pemilih . Ini berarti angka ‘golput’ di Amerika berkisar 45-64%. (vide: Akhol
Firdaus, Surabaya Post, 27 Maret 2009). Yang tidak memilih mempercayakan
saja apapun hasil pemilu, mereka percaya kehidupan berbangsa dan bernegara akan
berjalan sebagaimana biasa, karena pemilu tidak dimaksudkan untuk mengubah
total sistem dan/atau dasar negara (hal yang terakhir ini, dalam demokrasi,
hanya bisa dilakukan melalui satu-satunya pintu, referendum).
Lain
dengan negara yang sistem demokrasinya belum ajeg dan/atau yang demokrasinya
bohong-bohongan. Penguasa (incumbent), dengan segala cara mendorong
rakyatnya untuk menggunakan hak pilih (sudah tentu untuk memilih diri atau
partainya). Premisnya, ikut memilih berarti ikut menentukan nasip dan masa depan. Yang tidak ikut memilih
dikategorikan sebagai tidak bertanggung jawab. Rezim penguasa tidak suka
‘golput’ karena dinilai (dan senyatanya) sebagai bentuk perlawanan tidak
langsung terhadap sistem. Di negara macam ini, tidak heran, suara pemilih bisa
dan biasa 100% (bahkan, bukan tidak mungkin >100%, akibat rekayasa
kebablasan). Orde Baru pun menggunakan cara-cara ini. Faktanya, enam kali
pemilu di era Orde Baru yang diikuti lebih 90% suara pemilih, telah mengantar
negara ke bibir jurang, nyaris ambruk!
Istilah
golput (Golongan Putih) muncul di saat pemilu pertama Orde Baru akan digelar.
Tekanan yang secara masif dilakukan unsur kekuasaan, khususnya militer,
terhadap partai politik di satu sisi dan pemanjaan luar biasa pada ‘bukan
partai’ Golongan Karya (Golkar) di sisi lain, menimbulkan ketakutan dan
kegelisahan di kalangan masyarakat. Sekelompok intelektual muda, yang merasa
memiliki andil dalam perjuangan meruntuhkan rezim Orde Lama, dipelopori Arif
Budiman, melakukan perlawanan terhadap parodi demokrasi tersebut dengan
mendirikan kelompok ‘Golongan Putih’ (kemudian lebih dikenal dengan sebutan
Golput). Golput adalah perlawanan, dalam bentuk
satire, dengan memunculkan lambang segi lima di atas bidang warna putih, tanpa
gambar. Lain dengan negara yang sistem demokrasinya belum
ajeg dan/atau yang demokrasinya bohong-bohongan. Penguasa (incumbent),
dengan segala cara mendorong rakyatnya untuk menggunakan hak pilih (sudah tentu
untuk memilih diri atau partainya).. Sasarannya jelas ditujukan pada Golkar
yang juga berlambang segi lima yang bergambar beringin di tengahnya. Reaksi
penguasa terhadap golput cukup keras. Dampaknya, masyarakat takut
terang-terangan menyatakan dirinya golput, bahkan terpaksa ikut memilih karena
ditakut-takuti bahwa yang tidak memilih atau, memilih bukan Golkar, tetap akan
diketahui penguasa dan harus siap menanggung akibatnya.
Kini,
di era yang (katanya) demokrasi golput kembali marak. Gejala meningkatnya
ketidakpedulian masyarakat terhadap pemilu menimbulkan kekhawatiran sejumlah
kalangan, sampai-sampai MUI kebablasan, mengeluarkan fatwa haram bagi
yang tidak memilih alias golput. Hal yang bisa dipahami, karena rendahnya
partisipasi rakyat atas pemilu, merupakan indikator kepercayaan rakyat atas
sistem yang berlaku. Mendorong rakyat memilih dengan fatwa haram atau melalui
doktrin usang bahwa memilih adalah ikut menentukan masa depan bangsa sangat
diragukan manfaatnya. Terlebih penting adalah kesanggupan melakukan introspeksi
mengapa rakyat sampai enggan memilih, yang notabene adalah haknya selaku warga
negara yang paling berharga. Rakyat kecewa, atau bosan, karena partisipasi
mereka dalam pemilu, bukannya melahirkan pemimpin dan elit politik yang
berkualitas melainkan menghasilkan sekelompok elit pemimpin yang berperilaku
tidak terpuji seperti yang luas diberitakan media masa.
Di
mana letak kesalahan? Adakah rakyat telah salah memilih atau, kesalahannya
terletak pada sistem yang diberlakukan. Apabila dicermati lebih dalam agaknya
telah terjadi kesalahan yang lebih bersifat fundamental, kesalahan dalam
memaknai politik, yang sudah kuat ternanam, bahwa ‘politik itu kotor’.
Premis yang selama 32 tahun terus dihembuskan Orde Baru. Karena ‘kotor’ maka
standar norma etika dalam berpolitik bukan lagi ukuran. Pemilu berada dalam
ranah politik, wajar saja kalau ada rekayasa (bahasa lain untuk kata
mengelabui, atau mengakali). Orde Baru ‘menterjemahkan’ rule of law
dalam bentuk pemerintahan yang bersifat formalistis-legalistik bahwa
semuanya harus berlandaskan aturan atau hukum tertulis, tanpa perlu
mempersoalkan benar tidaknya hukum. Dalam pemahaman Orde Baru, pemilu adalah
cara agar pemerintahan bisa tetap sah secara hukum. Pemilu, dalam
pemahaman yang demikian, bukan untuk memperoleh pemerintahan baru yang tidak
semata legal (sah) namun juga harus legitimate (didukung
rakyat secara murni).
·
Pertama, untuk yang “murni pilihan” yang
secara sadar tidak mau memilih lantaran sistem pemilu dan mekanisme pemilihan
tidak mengakomodir aspirasinya. Pilihan golput dilakukan secara rasional, bukan
karena emosi terhadap kondisi perpolitikan negara yang tidak memberi ruang
pencerdasan.
Banyak pemilih yang berpikir bahwa memilih atau tidak memilih, tetap saja sama kondisinya. Tidak ada perbedaan yang akan dirasakan, karena calon anggota legislatif (caleg) setelah terpilih tidak melaksanakan amanah rakyat. Ada juga yang menilai tidak ada calon yang cocok sesuai kata hati.
Banyak pemilih yang berpikir bahwa memilih atau tidak memilih, tetap saja sama kondisinya. Tidak ada perbedaan yang akan dirasakan, karena calon anggota legislatif (caleg) setelah terpilih tidak melaksanakan amanah rakyat. Ada juga yang menilai tidak ada calon yang cocok sesuai kata hati.
·
Kedua, golput karena “kecelakaan” disebabkan
tidak mengerti bagaimana cara memilih, ada halangan, atau karena tidak
terdaftar sebagai pemilih. Kalau golput karena tidak mengerti cara memilih atau
karena halangan, tentu terkait dengan peran penyelenggara pemilu dan partai
politik (parpol) yang kurang melakukan sosialisasi dan pendidikan politik. Bagi
yang tidak masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT), atau ada tetapi tidak
mendapat surat panggilan untuk memilih, tentu ini berkaitan dengan persoalan
administrasi pemilu.
Menurut pengamat politik Eep Saefulloh Fatah (Republica.co.id, 9/12/2013), golput dikelompokkan ke dalam empat golongan. Pertama, golput teknis yaitu karena keliru menandai surat suara atau berhalangan hadir ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Kedua, golput teknis-politis, yaitu disebabkan karena tidak terdaftar sebagai pemilih dalam DPT.
Menurut pengamat politik Eep Saefulloh Fatah (Republica.co.id, 9/12/2013), golput dikelompokkan ke dalam empat golongan. Pertama, golput teknis yaitu karena keliru menandai surat suara atau berhalangan hadir ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Kedua, golput teknis-politis, yaitu disebabkan karena tidak terdaftar sebagai pemilih dalam DPT.
·
Ketiga, golput politis yaitu merasa tidak punya
pilihan dari kandidat atau caleg yang tersedia, atau tidak percaya bahwa
pemilu akan membawa perubahan dan perbaikan bagi kehidupan rakyat. Keempat,
golput ideologis yaitu golongan yang tidak percaya pada mekanisme demokrasi
(liberal). Pemilu bukan pilihan yang ideal bagi mereka.
C. Aspirasi Agama dalam Demokrasi.
Yang
dipertarungkan dalam pemilu adalah warna atau corak pemerintahan yang berlaku
untuk kurun waktu tertentu yang ditentukan undang-undang. Maka mengupayakan
kemenangan dalam pemilu dengan mengusung panji-panji agama, dalam demokrasi,
sah. Bagi yang hendak mengusung aspirasi ideologi atau paham yang bersifat
sekuler, juga sah. Kemenangan umumnya akan diraih oleh partai (sistem
parlementer)atau seseorang (sistem presidensial) yang memenuhi harapan dan/atau
aspirasi sebagian terbesar rakyat. Maka, kecenderungan politik di era modern
adalah umumnya partai akan berusaha mencitrakan diri sebagai partai inklusif
yakni menerima keanggotaan tidak didasarkan atas dasar suku, etnis, ras, atau
agama tertentu. Atau, yang mengusung aspirasi agama juga tidak ingin mencitrakan
diri sebagai pengusung aliran ekstrim atau radikal, yang hanya akan berakibat
pada tersisihnya dalam pertarungan. Tanpa harus menyebut nama, hal yang
terakhir ini dialami oleh sejumlah partai yang dengan mencolok mengusung
panji-panji agama.
Sebagai catatan akhir dari tulisan ini adalah
masih sering terjadinya mis-persepsi terhadap fenomena berdemokrasi dalam
kaitannya dengan agama. Kemenangan partai tertentu di wilayah yang bukan
penganut agama mayoritas dipersepsikan sebagai kemenangan agama minoritas.
Bali, sebagai misal, dianggap sebagai pembawa kepentingan Hindu-Bali. Lebih
jauh penilaian terhadap negara yang jelas sekuler namun mayoritas rakyatnya
tercatat menganut agama tertentu juga diposisikan sebagai membawa kepentingan
agama. Maka berlaku AS, dalam pemerintahan Republik atau Demokrat,tetap
diposisikan sebagai mengusung kepentingan Nasrani. India, kendati Partai
Kongres yang berkuasa kewalahan menghadapi kelompok radikal sekte Hindu, tetap
dikategorikan mengusung kepentingan Hindu, demikian pula Cina, yang diperintah
oleh Partai Komunis, dianggap mengusung kepentingan Kong Hu Cu, Jepang
mengusung kepentingan Budha atau Shinto, walau dalam kenyataannya Partai Shinto
di Jepang memperoleh suara sangat kecil, hampir tidak berarti.
Bab III. Penutupan
A.
Kesimpulan
Golput adalah
tindakan yang salah tentunya menyimpang oleh karena itu diharpkan kepada
seluruh masyarakat dalam Pemilu tidak ada yang namanya Golput bila ingin Negara
Indonesia ingin maju.
B.
Saran
Seperti yang kita
lihat serta kita ketahui bahwa Golput itu adalah tindakan yang tidak baik atau
menyimpang. Jadi bagi para masyarakat diharapkan jangan pernah GOLPUT dalam
memilih di pemilu bila ingin Negara Indonesia maju.
DAFTAR PUSTAKA
Hendarmin Ranadireksa.[*]
Marwan Mas
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Anggota Forum Dosen Majelis Tribun Timur
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Anggota Forum Dosen Majelis Tribun Timur

Tidak ada komentar:
Posting Komentar