Minggu, 30 Maret 2014

Tugas makala Kewarganegaraan



TUGAS PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Pemilu, Golput, dan Aspirasi Agama dalam Demokrasi


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj7QGy0t5D0OY3_UCIl8bLWaIfcqlab785xXTTVK9ERPO7sck_Oe05s8yVaWO-Q6LVRxVXPcVAkKOBdC-mv8PCRwbPo5F_P2aZ5_pDppLbIiswf6BfH72Y_WT0YS7HcCtERozrSThdWr7g/s1600/images.jpg
Disusun oleh:
Ardian.pradinata / 11212045
2EA02


UNIVERSITAS GUNADARMA
FAKULTAS EKONOMI
MANAJEMEN










Bab I. Pendahuluan
1.1                                                                                                                                  Kata Pengantar
Dengan menyebut puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berkat Rahmat-nya saya dapat menyelesaikan makala ini dengan judul “Demokrasi Pemilu, Golput, Aspirasi agama Demokrasi”. Makala ini dibuat berdasarkan tugas dari mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.
Serta saya mengucapkan terima kasih kepada teman-teman serta para sumber-sumber yang telah membantu saya dalam menyelesaikan makala ini. Saya ucapkan terima kasih juga kepada Bapak Dosen Emilianshah Banowo karena telah memberikan saya kesempatan untuk membuat makala ini.
Karna keterbatasan waktu , tenaga, dan kemampuan, saya menyadari makal ini jauh dari sempurna. Oleh karna itu, saya mengharapkan para pembaca dapat memaklumi setiap kekurangan tulisan, arti, maksud dan tujuan yang ingin saya sampaikan.
Tidak lupa juga saya ucapka terimakasih serta hormat atas segala bimbingan, pengarahan dan yang telah memberikan bantuan, sehingga saya dapat menyelesaikan makala ini. Terimakasih dan semoga makala ini dapat bermanfaat bagi saya pribadi dan juga bagi yang membaca.
1.2                                                                                                                                  Latar Belakang
Indonesia adalah dikenal sebagai Negara demokrasi tapi banyak masyarakat yang belom memahami tentang apaa itu demokrasi sehingga masih banyak para masyarakat yang Golput dalam memilih di pemilu.
Lain dengan negara yang sistem demokrasinya belum ajeg dan/atau yang demokrasinya bohong-bohongan. Penguasa (incumbent), dengan segala cara mendorong rakyatnya untuk menggunakan hak pilih (sudah tentu untuk memilih diri atau partainya).
1.3 Identifikasi Masalah
            Identifikasi masalah ini adalah bagaimana respon masyarakat terhadap GOLPUT yang kerap terjadi di Negara Indonesia Pemilu dimana masyarakat menjadi subject dan sekaligus object sebagai pelaksana dari Demokrasi yang seharusnya terjadi dengan baik, berdasarkan asas Pemilu jujur dan adil.  

Bab II. Pembahasan
A.      Makna Pemilu dalam Demokrasi.
Pengertian pemilu menurut UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu. Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam negara kesatuan RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.   
Pemilu diselenggarakan secara demokratis dan transparan, jujur dan adil dengan mengadakan pemberian dan pemungutan suara secara langsung, umum, bebas, dan rahasia. Jadi berdasarkan Undang-undang tersebut Pemilu menggunakan azas sebagai berikut :
·         Jujur
·         Adil
·         Langsung
·         Bebas
·         Umum
·         Rahasia
Tujuan Pemilu di Indonesia
Adalah untuk memilih wakil-wakil yang duduk di DPR, DPRD I dan DPRD II.
Pemilihan Umum bagi suatu negara demokrasi sangat penting artinya untuk menyalurkan kehendak asasi politiknya, antara lain sebagai berikut:
  1. untuk mendukung atau mengubah personel dalam lembaga legislatif
  2. adanya dukungan mayoritas rakyat dalam menentukan pemegang kekuasaan eksekutif untuk jangka waktu tertentu.
  3. Rakyat (melalui perwakilan) secara periodik dapat mengoreksi atau mengawasi eksekutif.

Dalam demokrasi (demos – rakyat; kratos atau kratein – kekuasaan, Latin), demokrasi tanpa embel-embel apapun, pemegang otoritas kekuasaan lahir dari adanya mandat atau kepercayaan rakyat. Melalui pemilu, rakyat memberikan kepercayaan kepada seseorang, atau sekelompok orang (yang adalah rakyat juga), yang dinilai memiliki aspirasi sama dan berkemampuan, untuk memimpin, mengatur, dan mengelola negara. Pemilu adalah cara paling sahih memperoleh figur terbaik bangsa (best of the best), dalam batasan periode waktu tertentu, untuk menjadi pemimpin dan/atau menjadi wakil rakyat (sistem presidensial) atau, wakil partai politik (sistem parlementer). Melalui pemilu akan dihasilkan pemerintahan yang tidak semata legal (sah) namun juga legitimate (memeperoleh dukung nyata dari rakyat). Agar tidak bias dan ada kepastian, demokrasi mengenal asas, suara
minimal 50% + 1, sebagai syarat adanya pengakuan dan keabsahan untuk menjadi pemimpin dan/atau untuk menerbitkan kebijakan negara. Pemilu adalah konsekuensi logis dari demokrasi yang berkedaulatan rakyat.

Kedaulatan rakyat maknanya rakyat bebas bersikap, tanpa (merasa) dipengaruhi oleh apa atau siapapun. Koridor kedaulatan adalah undang-undang (mengatur hubungan sesama warga dan mengatur hubungan warga negara dengan negara) dan etika bernegara. Kebebasan, dalam kaitannya dengan negara, adalah bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang dideklarasikan PBB (1946) sebagai antitesa atas sistem fasis-isme/nazi-isme yang nyaris memporak-porandakan nilai-nilai kemanusiaan. Deklarasi HAM, adalah kesepakatan antar negara (yang mau meratifikasinya dalam undang-undang) untuk melindungi warga negara dari ekses kekuasaan negara (pasca-Orde Baru, Indonesia baru meratifikasi HAM). Dengan kedaulatan rakyat dimaksudkan, rakyat bebas berkumpul dan berserikat, bebas menyatakan pendapat, bebas memilih dan dipilih dan, bebas pula untuk tidak mau dipilih dan tidak memilih. Dalam demokrasi, memilih adalah hak, bukan kewajiban.

B.      Fenomena Golput.

 Fenomena golput seringkai diidentifikasikan dengan "gerakan protes" terhadap penyelenggaraan pemilihan umum dan pilkada itu muncul hanya setiap lima tahun sekali, namun yang penting untuk diketahui dari gerakan itu adalah makna dan sasaran yang ingin dicapainya serta implikasinya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.

Di negara yang sistem demokrasinya berjalan normal, sudah biasa kalau pemilu ‘hanya’ diikuti +/- 60% konstituen pemilih bahkan kurang dari itu. Sebagai misal, di Amerika Serikat, berdasarkan data yang dilansir Federal Election Commission (FEC), angka partisipasi dalam pemilu Presiden 2004 hanya mencapai 55,3%. Sementara pemilu legislatif 2006 hanya berhasil menyedot 36,5% suara pemilih . Ini berarti angka ‘golput’ di Amerika berkisar 45-64%. (vide: Akhol Firdaus, Surabaya Post, 27 Maret 2009). Yang tidak memilih mempercayakan saja apapun hasil pemilu, mereka percaya kehidupan berbangsa dan bernegara akan berjalan sebagaimana biasa, karena pemilu tidak dimaksudkan untuk mengubah total sistem dan/atau dasar negara (hal yang terakhir ini, dalam demokrasi, hanya bisa dilakukan melalui satu-satunya pintu, referendum).

Lain dengan negara yang sistem demokrasinya belum ajeg dan/atau yang demokrasinya bohong-bohongan. Penguasa (incumbent), dengan segala cara mendorong rakyatnya untuk menggunakan hak pilih (sudah tentu untuk memilih diri atau partainya). Premisnya, ikut memilih berarti ikut menentukan nasip dan masa depan. Yang tidak ikut memilih dikategorikan sebagai tidak bertanggung jawab. Rezim penguasa tidak suka ‘golput’ karena dinilai (dan senyatanya) sebagai bentuk perlawanan tidak langsung terhadap sistem. Di negara macam ini, tidak heran, suara pemilih bisa dan biasa 100% (bahkan, bukan tidak mungkin >100%, akibat rekayasa kebablasan). Orde Baru pun menggunakan cara-cara ini. Faktanya, enam kali pemilu di era Orde Baru yang diikuti lebih 90% suara pemilih, telah mengantar negara ke bibir jurang, nyaris ambruk!
Istilah golput (Golongan Putih) muncul di saat pemilu pertama Orde Baru akan digelar. Tekanan yang secara masif dilakukan unsur kekuasaan, khususnya militer, terhadap partai politik di satu sisi dan pemanjaan luar biasa pada ‘bukan partai’ Golongan Karya (Golkar) di sisi lain, menimbulkan ketakutan dan kegelisahan di kalangan masyarakat. Sekelompok intelektual muda, yang merasa memiliki andil dalam perjuangan meruntuhkan rezim Orde Lama, dipelopori Arif Budiman, melakukan perlawanan terhadap parodi demokrasi tersebut dengan mendirikan kelompok ‘Golongan Putih’ (kemudian lebih dikenal dengan sebutan Golput). Golput adalah perlawanan, dalam bentuk satire, dengan memunculkan lambang segi lima di atas bidang warna putih, tanpa gambar. Lain dengan negara yang sistem demokrasinya belum ajeg dan/atau yang demokrasinya bohong-bohongan. Penguasa (incumbent), dengan segala cara mendorong rakyatnya untuk menggunakan hak pilih (sudah tentu untuk memilih diri atau partainya).. Sasarannya jelas ditujukan pada Golkar yang juga berlambang segi lima yang bergambar beringin di tengahnya. Reaksi penguasa terhadap golput cukup keras. Dampaknya, masyarakat takut terang-terangan menyatakan dirinya golput, bahkan terpaksa ikut memilih karena ditakut-takuti bahwa yang tidak memilih atau, memilih bukan Golkar, tetap akan diketahui penguasa dan harus siap menanggung akibatnya.

Kini, di era yang (katanya) demokrasi golput kembali marak. Gejala meningkatnya ketidakpedulian masyarakat terhadap pemilu menimbulkan kekhawatiran sejumlah kalangan, sampai-sampai MUI kebablasan, mengeluarkan fatwa haram bagi yang tidak memilih alias golput. Hal yang bisa dipahami, karena rendahnya partisipasi rakyat atas pemilu, merupakan indikator kepercayaan rakyat atas sistem yang berlaku. Mendorong rakyat memilih dengan fatwa haram atau melalui doktrin usang bahwa memilih adalah ikut menentukan masa depan bangsa sangat diragukan manfaatnya. Terlebih penting adalah kesanggupan melakukan introspeksi mengapa rakyat sampai enggan memilih, yang notabene adalah haknya selaku warga negara yang paling berharga. Rakyat kecewa, atau bosan, karena partisipasi mereka dalam pemilu, bukannya melahirkan pemimpin dan elit politik yang berkualitas melainkan menghasilkan sekelompok elit pemimpin yang berperilaku tidak terpuji seperti yang luas diberitakan media masa.

Di mana letak kesalahan? Adakah rakyat telah salah memilih atau, kesalahannya terletak pada sistem yang diberlakukan. Apabila dicermati lebih dalam agaknya telah terjadi kesalahan yang lebih bersifat fundamental, kesalahan dalam memaknai politik, yang sudah kuat ternanam, bahwa ‘politik itu kotor’. Premis yang selama 32 tahun terus dihembuskan Orde Baru. Karena ‘kotor’ maka standar norma etika dalam berpolitik bukan lagi ukuran. Pemilu berada dalam ranah politik, wajar saja kalau ada rekayasa (bahasa lain untuk kata mengelabui, atau mengakali). Orde Baru ‘menterjemahkan’ rule of law dalam bentuk pemerintahan yang bersifat formalistis-legalistik bahwa semuanya harus berlandaskan aturan atau hukum tertulis, tanpa perlu mempersoalkan benar tidaknya hukum. Dalam pemahaman Orde Baru, pemilu adalah cara agar pemerintahan bisa tetap sah secara hukum. Pemilu, dalam pemahaman yang demikian, bukan untuk memperoleh pemerintahan baru yang tidak semata legal (sah)  namun juga harus legitimate (didukung rakyat secara murni).

·         Pertama, untuk yang “murni pilihan” yang secara sadar tidak mau memilih lantaran sistem pemilu dan mekanisme pemilihan tidak mengakomodir aspirasinya. Pilihan golput dilakukan secara rasional, bukan karena emosi terhadap kondisi perpolitikan negara yang tidak memberi ruang pencerdasan.
Banyak pemilih yang berpikir bahwa memilih atau tidak memilih, tetap saja sama kondisinya. Tidak ada perbedaan yang akan dirasakan, karena calon anggota legislatif (caleg) setelah terpilih tidak melaksanakan amanah rakyat. Ada juga yang menilai tidak ada calon yang cocok sesuai kata hati.

·         Kedua, golput karena “kecelakaan” disebabkan tidak mengerti bagaimana cara memilih, ada halangan, atau karena tidak terdaftar sebagai pemilih. Kalau golput karena tidak mengerti cara memilih atau karena halangan, tentu terkait dengan peran penyelenggara pemilu dan partai politik (parpol) yang kurang melakukan sosialisasi dan pendidikan politik. Bagi yang tidak masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT), atau ada tetapi tidak mendapat surat panggilan untuk memilih, tentu ini berkaitan dengan persoalan administrasi pemilu.
Menurut pengamat politik Eep Saefulloh Fatah (Republica.co.id, 9/12/2013), golput dikelompokkan ke dalam empat golongan. Pertama, golput teknis yaitu karena keliru menandai surat suara atau berhalangan hadir ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Kedua, golput teknis-politis, yaitu disebabkan karena tidak terdaftar sebagai pemilih dalam DPT.

·         Ketiga, golput politis yaitu merasa tidak punya pilihan dari kandidat atau caleg yang  tersedia, atau tidak percaya bahwa pemilu akan membawa perubahan dan perbaikan bagi kehidupan rakyat. Keempat, golput ideologis yaitu golongan yang tidak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal). Pemilu bukan pilihan yang ideal bagi mereka.

C.      Aspirasi Agama dalam Demokrasi.

Yang dipertarungkan dalam pemilu adalah warna atau corak pemerintahan yang berlaku untuk kurun waktu tertentu yang ditentukan undang-undang. Maka mengupayakan kemenangan dalam pemilu dengan mengusung panji-panji agama, dalam demokrasi, sah. Bagi yang hendak mengusung aspirasi ideologi atau paham yang bersifat sekuler, juga sah. Kemenangan umumnya akan diraih oleh partai (sistem parlementer)atau seseorang (sistem presidensial) yang memenuhi harapan dan/atau aspirasi sebagian terbesar rakyat. Maka, kecenderungan politik di era modern adalah umumnya partai akan berusaha mencitrakan diri sebagai partai inklusif yakni menerima keanggotaan tidak didasarkan atas dasar suku, etnis, ras, atau agama tertentu. Atau, yang mengusung aspirasi agama juga tidak ingin mencitrakan diri sebagai pengusung aliran ekstrim atau radikal, yang hanya akan berakibat pada tersisihnya dalam pertarungan. Tanpa harus menyebut nama, hal yang terakhir ini dialami oleh sejumlah partai yang dengan mencolok mengusung panji-panji agama.

Sebagai catatan akhir dari tulisan ini adalah masih sering terjadinya mis-persepsi terhadap fenomena berdemokrasi dalam kaitannya dengan agama. Kemenangan partai tertentu di wilayah yang bukan penganut agama mayoritas dipersepsikan sebagai kemenangan agama minoritas. Bali, sebagai misal, dianggap sebagai pembawa kepentingan Hindu-Bali. Lebih jauh penilaian terhadap negara yang jelas sekuler namun mayoritas rakyatnya tercatat menganut agama tertentu juga diposisikan sebagai membawa kepentingan agama. Maka berlaku AS, dalam pemerintahan Republik atau Demokrat,tetap diposisikan sebagai mengusung kepentingan Nasrani. India, kendati Partai Kongres yang berkuasa kewalahan menghadapi kelompok radikal sekte Hindu, tetap dikategorikan mengusung kepentingan Hindu, demikian pula Cina, yang diperintah oleh Partai Komunis, dianggap mengusung kepentingan Kong Hu Cu, Jepang mengusung kepentingan Budha atau Shinto, walau dalam kenyataannya Partai Shinto di Jepang memperoleh suara sangat kecil, hampir tidak berarti.
Bab III. Penutupan
A.      Kesimpulan
Golput adalah tindakan yang salah tentunya menyimpang oleh karena itu diharpkan kepada seluruh masyarakat dalam Pemilu tidak ada yang namanya Golput bila ingin Negara Indonesia ingin maju.
B.      Saran
Seperti yang kita lihat serta kita ketahui bahwa Golput itu adalah tindakan yang tidak baik atau menyimpang. Jadi bagi para masyarakat diharapkan jangan pernah GOLPUT dalam memilih di pemilu bila ingin Negara Indonesia maju.

DAFTAR PUSTAKA

Hendarmin Ranadireksa.[*]

Marwan Mas
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Anggota Forum Dosen Majelis Tribun Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar