Minggu, 20 Januari 2013

wayang golek budaya jawa

 Banyak orang beranggapan bahwa seni wayang berasal dari Negeri India. Padahal menurut R.Gunawan Djajakusumah dalam bukunya Pengenalan Wayang Golek Purwa di Jawa Barat, hal itu tidak benar. Menurutnya, wayang adalah kebudayaan asli Indonesia (khususnya di Pulau Jawa).

Perkataan wayang berasal dari Wad an Hyang, artinya ¿leluhur¿,tapi ada juga yang berpendapat yaitu dari kata¿bayangan¿. Adapun yang berpendapat bahwa wayang berasal dari negri India mungkin melihat dari asal ceritanya yaitu mengambil dari cerita Ramayana dan Mahabrata (berasal dari Kitab Suci Hindu). Tetapi selanjutnya cerita-cerita itu diubah dan direkayasa disesuaikan dengan kebudayaan di Jawa.


Di Jawa Barat seni wayang dinamakan Wayang Golek. Artinya, menjalankan seni wayang dengan menggunakan boneka terbuat dari kayu hampir menyerupai muka dan tubuh sosok manusia gambaran wayang. Ada empat macam figure pada wayang golek, yaitu; figure Rahwana ( goleknya memakai makuta dengan model sekar kluwih dan ukirannya menyerupai ukiran jaman Kerajaan Pajajaran dan Mataram dengan keturunannya yaitu; Suyudana dan Dursasana); figure Arjuna (menggambarkan sosok pejuang sejati yang tampan dan gagah berani bajunya memakai supit urang seangkatannya seperti ; Bima dan Gatotkaca); figure Garuda Mungkur (direka muka garuda dengan lidahnya keluar); figure Bineka Sari (seperti pohon cemara disusun ke atas seperti pada wayang Kresna, Baladewa, Arimbi, Rama dan Indra, figure Kuluk, asesoris bajunya memakai gambar garuda atau sumping seperti terdapat pada wayang Batara guru, Karna dan Kumbangkarna. Figur-figur wayang golek tersebut dibuat ada yang menggunakan patokan (ugaran) dan berdasarekan seni bakatnya sendiri (berdasarkan selera masing-masing). Pembuat wayang selama ini terdapat di daerah Bogor (selacau Batujajar) dan Cibiru Bandung.

Bagian-bagian seni wayang golek terdiri dari : Dalang (yang memainkan boneka golek berdasarkan ceritanya); goleknya itu sendiri (jumlahnya ratusan); nayaga group atau orang yang memainkan gamelan, kendang, goong, rebab (alat musk gesek) dan juru kawih serta juru alok). SEmua bagian tersebut menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Satudengan lainnya bersinergi sesuai irama dan jalan ceritannya.

Pertunjukan wayang biasanya dilakukan pada saat adanya kenduri baik kawinan maupun hajatan sunatan, Agustusan atau karena hal tertentu (bisanya ini dinamakan ruwatan). Waktunya bisa semalam suntuk atau hanya beberapa jama saja. Isi ceritanya ada yang menganut prinsip galur (diambil secara utuh berdasarkan cerita Ramayana dan Mahabrata) dan ada yang menggunakan prinsip sempalan (mengambil bagian-bagian tertentu yang biasanya menarik penonton seperti; peperangan, dan dialog humor).

Pertujukan wayang yang menggunakan prinsip galur waktunya semalam suntuk sedangkan yang sempalan biasanya hanya satu sampai dua jam saja. Apalagi apabila pertunjukannya melalui media televise yang jamtayangnya sangat terbatas mungkin hanya 45 menit saja. Dalam kondisi masyarakat yang aktifitas socialnya tinggi dan menuntut waktu serba cepat, maka pertunjukan yang singkat tapi padat ceritanya dan dialog humornya menarik akan sangat diminati dibandingkan yang menggunakan jalan cerita prinsip galur ¿ dengan lama hingga waktu subuh. Bagi masyarakat dari golongan generasi tua dan fanatic terhadapprinsip galur wayang ia akan menyenangi jalan cerita aslinya walaupun ia dengar dan lihat berulang-ulang. Tapi, bagi generasi muda yang haus hiburan serba instant, maka cerita-cerita sempalan adalah paling disukai.

Berapa jumlah tokoh wayang yang juga sekaligus jumlah boneka wayangnya ? Jawabnya, bahwa menurut R.Gunawan Djajakusumah terdapat 623 tokoh wayang dan tidak semuanya terpangpang dalam satu pertunjukan.

Menurut pengamatan kami (redaksi) dalam satu pertunjukan biasanya menghadirkan antara 20 sampai 30 boneka wayang dan yang sering muncul kebanyakan figure-figur yang akrab di masyarakat seperti; arjuna, pandawa lima khsusnya siCepot, gatotkaca, bima, rahwana, anggota pasukan Kurawa.
Jumlah dalang yang tercatat hingga tahun 2002 ini diperkirakan jumlahnya tidak melebih seratusan dan yang digemari masyarakat adalah seperti; Asep Sunarya, Ade Sunarya, Dede Amung. Dalang-dalang ini memiliki kamampuan teknis memainkan wayang yang tinggi, mampu melantunkan jalan ceritanya, sentilan humornya menarik dan komunikatif dengan penonton.http://mengenalbudayajawa.blogspot.com/2012/05/wayang-golek.html

budaya sunda

Budaya Sunda
Budaya Sunda dikenal dengan budaya yang sangat menjujung tinggi sopan santun. Pada umumnya karakter masyarakat sunda, ramah tamah (someah), murah senyum lemah lembut dan sangat menghormati orang tua. Itulah cermin budaya dan kultur masyarakat sunda. Di dalam bahasa sunda diajarkan bagaimana menggunakan bahasa halus untuk orang tua
Sejarah Sukabumi : Pada masa pemerintahan Bupati Cianjur VI, yaitu Rd. Noh (Wiratanoedatar  VI), tepatnya pada tahun 1776, dalam wilayah Kabupaten Cianjur diangkat seorang Patih yang membawahi Distrik Gunungparang, Distrik Cimahi, Distrik Ciheulang, Distrik Cicurug, Distrik Jampangtengah, dan Distrik Jampangkulon. Pusat Pemerintahannya terletak di Cikole.  Dipilihnya Cikole sebagai pusat kepatihan sehubungan lokasi itu sangat strategis bagi komunikasi antara Priangan dan Batavia (Jakarta).
Selain itu, Cikole merupakan tempat yang nyaman bagi peristirahatan serta memiliki potensi ekonomi yang cukup tinggi, khususnya di bidang perkebunan. Oleh karena itu, atas usul para Pimpinan Bumi Putera, Andries de Wilde yang menjabat administratur pada masa Gubernur Jenderal Sir Thomas Raffles, pada tanggal 8 Januari 1815 mengubah nama Cikole menjadi Sukabumi  berasal dari bahasa Sunda, yaitu Suka dan bumi.
Menurut keterangan, mengingat udaranya yang sejuk dan nyaman, mereka yang datang ke daerah ini tidak ingin pindah lagi, karena suka atau senang bumen-bumen atau bertempat tinggal di daerah ini. Pada saat itu, daerah Sukabumi dikenal sebagai tempat peristirahatan bagi para petinggi perkebunan Belanda. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Belanda mendirikan pusat perkantoran di Sukabumi untuk mengurus perkebunan yang tersebar di beberapa tempat. Tempat peristirahatan yang dibangun dalam waktu singkat menjadi tempat favorit bagi para petinggi perusahaan perkebunan Belanda, kemudian mengubah tempat peristirahatan itu menjadi hotel.
Sejak tahun 1865, daerah Sukabumi semakin berkembang dengan pesat, sehingga pada tahun 1914 tercatat penduduk yang berasal dari Eropa berjumlah 600 orang dan penduduk asli yang bersuku Sunda dan suku bangsa lainnnya sekitar 14.400 orang. Pada tahun itu pula, pemerintah Hindia Belanda menjadikan Sukabumi sebagai Burgerlijk Bestuur dengan status Gemeente dengan alasan bahwa di kota ini banyak berdiam orang-orang Belanda dan Eropa. Mereka kebanyakan merupakan para pemilik perkebunan-perkebunan yang berada di daerah Kabupaten Sukabumi bagian selatan, yang harus mendapatkan pengurusan dan pelayanan yang istimewa.
Sejak ditetapkannya Sukabumi menjadi Daerah Otonom pada bulan Mei 1926, maka resmi diangkat “Burgemeester” yaitu Mr. G.F. Rambonnet. Pada masa inilah dibangun Stasiun Kereta Api, Mesjid Agung, gereja Kristen Pantekosta; Katolik; Bethel; HKBP Pasundan, pembangkit listrik Ubrug; centrale (Gardu Induk) Cipoho, Sekolah Polisi Gubernemen yang berdekatan dengan lembaga pendidikan Islam tradisionil Gunung Puyuh.http://aslisunda.wordpress.com/

budaya bali


BUDAYA BALI
Bali berasal dari kata “Bal” dalam bahasa Sansekerta berarti "Kekuatan", dan "Bali" berarti "Pengorbanan" yang berarti supaya kita tidak melupakan kekuatan kita. Supaya kita selalu siap untuk berkorban. Bali mempunyai 2 pahlawan nasional yang sangat berperan dalam mempertahankan daerahnya yaitu I Gusti Ngurah Rai dan I Gusti Ketut Jelantik.
Pulau B
ali adalah bagian dari Kepulauan Sunda Kecil yang beribu kota Denpasar. Tempat-tempat penting lainnya adalah Ubud sebagai pusat seni terletak di Kabupaten Gianyar, sedangkan Kuta, Sanur, Seminyak, dan Nusa Dua adalah beberapa tempat yang menjadi tempat tujuan pariwisata, baik wisata pantai maupun tempat peristirahatan. Suku bangsa Bali dibagi menjadi 2 yaitu: Bali Aga (penduduk asli Bali biasa tinggal di daerah trunyan), dan Bali Mojopahit (Bali Hindu / keturunan Bali Mojopahit).

UNSUR – UNSUR BUDAYA
A. BAHASA
Bali sebagian besar menggunakan bahasa Bali dan bahasa Indonesia, sebagian besar masyarakat Bali adalah bilingual atau bahkan trilingual. Bahasa Inggris adalah bahasa ketiga dan bahasa asing utama bagi masyarakat Bali yang dipengaruhi oleh kebutuhan industri pariwisata. Bahasa Bali di bagi menjadi 2 yaitu, bahasa Aga yaitu bahasa Bali yang pengucapannya lebih kasar, dan bahasa Bali Mojopahit.yaitu bahasa yang pengucapannya lebih halus.

B. PENGETAHUAN
Banjar atau bisa disebut sebagai desa adalah suatu bentuk kesatuan-kesatuan social yang didasarkan atas kesatuan wilayah. Kesatuan social tersebut diperkuat oleh kesatuan adat dan upacara keagamaan. Banjar dikepalahi oleh klian banjar yang bertugas sebagai menyangkut segala urusan dalam lapangan kehidupan sosial dan keagamaan,tetapi sering kali juga harus memecahkan soal-soal yang mencakup hukum adat tanah, dan hal-hal yang sifatnya administrasi pemerintahan.

C. TEKNOLOGI
Masyarakat Bali telah mengenal dan berkembang system pengairan yaitu system subak yang mengatur pengairan dan penanaman di sawah-sawah. Dan mereka juga sudah mengenal arsitektur yang mengatur tata letak ruangan dan bangunan yang menyerupai bangunan Feng Shui. Arsitektur merupakan ungkapan perlambang komunikatif dan edukatif. Bali juga memiliki senjata tradisional yaitu salah satunya keris. Selain untuk membela diri, menurut kepercayaan bila keris pusaka direndam dalam air putih dapat menyembuhkan orang yang terkena gigitan binatang berbisa.

D. ORGANISASI SOSIAL
a). Perkawinan
Penarikan garis keturunan dalam masyarakat Bali adalah mengarah pada patrilineal. System kasta sangat mempengaruhi proses berlangsungnya suatu perkawinan, karena seorang wanita yang kastanya lebih tinggi kawin dengan pria yang kastanya lebih rendah tidak dibenarkan karena terjadi suatu penyimpangan, yaitu akan membuat malu keluarga dan menjatuhkan gengsi seluruh kasta dari anak wanita.
Di beberapa daerah Bali ( tidak semua daerah ), berlaku pula adat penyerahan mas kawin ( petuku luh), tetapi sekarang ini terutama diantara keluarga orang-orang terpelajar, sudah menghilang.
b). Kekerabatan
Adat menetap diBali sesudah menikah mempengaruhi pergaulan kekerabatan dalam suatu masyarakat. Ada macam 2 adat menetap yang sering berlaku diBali yaitu adat virilokal adalah adat yang membenarkan pengantin baru menetap disekitar pusat kediaman kaum kerabat suami,dan adat neolokal adalah adat yang menentukan pengantin baru tinggal sendiri ditempat kediaman yang baru. Di Bali ada 3 kelompok klen utama (triwangsa) yaitu: Brahmana sebagai pemimpin upacara, Ksatria yaitu : kelompok-klompok khusus seperti arya Kepakisan dan Jaba yaitu sebagai pemimpin keagamaan.
c). Kemasyarakatan
Desa, suatu kesatuan hidup komunitas masyarakat bali mencakup pada 2 pengertian yaitu : desa adat dan desa dinas (administratif). Keduanya merupakan suatu kesatuan wilayah dalam hubungannya dengan keagamaan atau pun adat istiadat, sedangkan desa dinas adalah kesatuan admistratif. Kegiatan desa adat terpusat pada bidang upacara adat dan keagamaan, sedangkan desa dinas terpusat pada bidang administrasi, pemerintahan dan pembangunan.

E. MATA PENCAHARIAN
Pada umumnya masyarakat bali bermata pencaharian mayoritas bercocok tanam, pada dataran yang curah hujannya yang cukup baik, pertenakan terutama sapi dan babi sebagai usaha penting dalam masyarakat pedesaan di Bali, baik perikanan darat maupun laut yang merupakan mata pecaharian sambilan, kerajinan meliputi kerajinan pembuatan benda anyaman, patung, kain, ukir-ukiran, percetakaan, pabrik kopi, pabrik rokok, dll. Usaha dalam bidang ini untuk memberikan lapangan pekerjaan pada penduduk. Karena banyak wisatawan yang mengunjungi bali maka timbullah usaha perhotelan, travel, toko kerajinan tangan.

F. RELIGI
Agama yang di anut oleh sebagian orang Bali adalah agama Hindu sekitar 95%, dari jumlah penduduk Bali, sedangkan sisanya 5% adalah penganut agama Islam, Kristen, Katholik, Budha, dan Kong Hu Cu. Tujuan hidup ajaran Hindu adalah untuk mencapai keseimbangan dan kedamaian hidup lahir dan batin.orang Hindu percaya adanya 1 Tuhan dalam bentuk konsep Trimurti, yaitu wujud Brahmana (sang pencipta), wujud Wisnu (sang pelindung dan pemelihara), serta wujud Siwa (sang perusak). Tempat beribadah dibali disebut pura. Tempat-tempat pemujaan leluhur disebut sangga. Kitab suci agama Hindu adalah weda yang berasal dari India.

Orang yang meninggal dunia pada orang Hindu diadakan upacara Ngaben yang dianggap sanggat penting untuk membebaskan arwah orang yang telah meninggal dunia dari ikatan-ikatan duniawinya menuju surga. Ngaben itu sendiri adalah upacara pembakaran mayat. Hari raya umat agama hindu adalah Nyepi yang pelaksanaannya pada perayaan tahun baru saka pada tanggal 1 dari bulan 10 (kedasa), selain itu ada juga hari raya galungan, kuningan, saras wati, tumpek landep, tumpek uduh, dan siwa ratri.

Pedoman dalam ajaran agama Hindu yakni : (1).tattwa (filsafat agama), (2). Etika (susila), (3).Upacara (yadnya). Dibali ada 5 macam upacara (panca yadnya), yaitu (1). Manusia Yadnya yaitu upacara masa kehamilan sampai masa dewasa. (2). Pitra Yadnya yaitu upacara yang ditujukan kepada roh-roh leluhur. (3).Dewa Yadnya yaitu upacara yang diadakan di pura / kuil keluarga.(4).Rsi yadnya yaituupacara dalam rangka pelantikan seorang pendeta. (5). Bhuta yadnya yaitu upacara untuk roh halus disekitar manusia yang mengganggu manusia.

G. KESENIAN
Kebudayaan kesenian di bali di golongkan 3 golongan utama yaitu seni rupa misalnya seni lukis, seni patung, seni arsistektur, seni pertunjukan misalnya seni tari, seni sastra, seni drama, seni musik, dan seni audiovisual misalnya seni video dan film.

NILAI-NILAI BUDAYA
1. Tata krama : kebiasaan sopan santun yang di sepakati dalam lingkungan pergaulan antar manusia di dalam kelompoknya.
2. Nguopin : gotong royong.
3. Ngayah atau ngayang : kerja bakti untuk keperluan agama.
4. Sopan santun : adat hubungan dalam sopan pergaulan terhadap orang-orang yang berbeda sex.

ASPEK PEMBANGUNAN
Di Bali jenis mata pencahariannya adalah bertani disawah. Mata pencaharian pokok tersebut mulai bergeser pada jenis mata pencaharian non pertanian. Pergeseran ini terjadi karena bahwa pada saat sekarang dengan berkembangnya industri pariwisata di daerah Bali, maka mereka menganggap mulai berkembanglah pula terutama dalam mata pencaharian penduduknya.

Sehingga kebanyakan orang menjual lahannya untuk industri pariwisata yang dirasakan lebih besar dan lebih cepat dinikmati. Pendapatan yang diperoleh saat ini kebanyakan dari mata pencaharian non pertanian, seperti : tukang, sopir, industri, dan kerajinan rumah tangga. Industri kerajinan rumah tangga seperti memimpin usaha selip tepung, selip kelapa, penyosohan beras, usaha bordir atau jahit menjahit.http://de-kill.blogspot.com/2009/04/sekilas-budaya-bali.html

BUDAYA MAKAN LOKAL

BUDAYA MAKAN LOKAL
Dalam Budaya Bugis-Makassar telah tertanam secara tidak tertulis aturan bahwa dalam satu keluarga makan bersama merupakan suatu keharusan dan hal ini sudah menjadi tradisi turun temurun. Hampir semua sesi makan (pagi, siang dan malam) khususnya makan malam wajib diikuti oleh semua anggota keluarga. Tradisi makan bersama sambil duduk bersila, membentuk sebuah lingkaran kecil, serta semua menu makanan diletakkan dalam sebuah tempayang besar yang diletakkan ditengah-tengah lingkaran adalah hal yang sering dijumpai pada keluarga suku bugis makassar.
Ada banyak manfaat yang bisa diperoleh dari makan bersama, salah satunya ialah orang tua dapat mengontrol makanan yang di konsumsi oleh anak-anak mereka. Sering kita jumpai ketika dalam suatu keluarga yang sedang makan bersama kemudian ada salah satu anak yang tidak makan ikan, maka serta merta ibu atau bapak akan langsung menegur dalam dialek bugis Makassar “……eh…. Makan ki ini ikan, sayur juga, kenapakah tidak makan sayur….”. Anak-anak yang ditegur seperti itu akan langsung menuruti perintah ibu, tanpa ada penolakan, meskipun dengan perasaan terpaksa. Tapi, secara tidak langsung hal itu sebagai bentuk pendidikan yang diberikan ibu kepada anak-anaknya untuk selalu makan ikan dan sayur, dan hal tersebut akan selalu teringat oleh anak hingga dewasa.
Selain kebiasaan makan dalam keluarga, ada hal lain yang dapat dijumpai pada masyarakat suku Bugis-Makassar. Diantaranya adalah yang tinggi gula yang sering ada pada saat pesta dan perayaan-perayaan tertentu seperti kue cucur bayao, pisang ijo, dan pisang goreng balanda. Kue cucur, barongko, serta pisang goreng balanda dibuat dengan menggunakan telur dan gula yang banyak sehingga menjadikan rasa kue ini sangat manis. Selain itu, makanan yang berbahan tinggi lemak dan kalori seperti konro, coto Makassar, dan Sop saudara sudah menjadi makanan sehari-hari masyarakat Makassar.
PERMASALAHAN
Bagi kalangan muda dan anak-anak di kota Makasar, makanan barat lebih diminati daripada makanan tradisonal, atau makanan yang biasa dimakan di rumah. Hal itu disebabkan untuk mencari suasan baru dan ketertarikan anak-anak muda pada kemasan dan tempat yang menarik. Dalam pesta pernikahan maupun acara adat lainnya hidangan tradisional masih mendominasi jenis hidangan yang ditampilkan. Jenis-jenis makanan dari Barat juga mulai hadir dalam acara-acara adat, meskipun tidak mencolok. Hal itu disebabkan oleh kemampuan ekonomi masyarakatnya. Dengan demikian nampak suatu pandangan bahwa makanan barat mahal, sementara makanan tradisional murah (Sedyawati dan Mulyadi, 2007).
Coto makassar yang berbahan jeroan seringkali dianggap sebagai biang kerok timbulnya berbagai penyakit berbahaya seperti: jantung koroner, stroke, dan asam urat sehingga sebaiknya konsumsi coto makassar ini dihindari. Tapi sebagian orang tetap tidak peduli, terbukti masih banyak pengunjung yang memadati restoran, rumah makan, kafe ataupun warung -warung coto makassar baik pagi, siang ataupun malam. Ada juga suatu istilah bagi masyarakat Makassar yaitu garring coto (sakit coto), misalnya pada orang yang sedang letih karena kerja berat, sakit flu, masuk angin, dan kurang enak badan akan segera sembuh ketika sudah memakan satu porsi coto makassar. Coto Makassar ini sering dikonsumsi bersama ketupat, biasanya satu porsi coto dimakan bersama 2-3 buah ketupat (450 gr), sehingga menjadikan makanan coto Makassar ini sebagai makanan yang tinggi kalori tinggi lemak dan tergolong fast food lokal.
Sop saudara dan Sop konro/konro bakar juga tidak jauh berbeda dengan coto Makassar, makanan yang hanya mengandung daging sapi ini tidak kalah populernya dengan coto. Hanya saja sop konro dan sop saudara harganya lebih mahal dibandingkan dengan coto Makassar, oleh karena itu digolongkan makanan untuk kelas menengah keatas. Makanan ini juga tergolong fast food lokal yang mengandung lemak tinggi, dan hanya dikonsumsi dengan nasi sehingga menjadikannya sebagai menu yang tidak seimbang. Tentunya bagi orang yang memiliki riwayat penyakit tidak menular dan yang obesitas harus menghindari menu makanan ini, namun hal itu sangat sulit dilakukan mengingat tempat makan yang ada di kota Makassar sudah menjamur dan menyediakan menu tersebut. Untuk jenis kue tradisional, karena sebagian besar mengandung gula yang tinggi sehingga bagi penderita diabetes harus bisa membatasi konsumsi jenis kue tersebut. Walaupun agak sulit mengingat kue-kue tersebut hampir selalu ada disetiap acara-acara yang diadakan masyarakat Bugis-Makassar.
PEMBAHASAN
Berdasarkan gambaran makanan khas suku Bugis-Makassar diatas, memang kebanyakan mengandung lemak, kalori, dan gula yang tinggi sehingga bagi orang yang memiliki penyakit non infeksi (non communicable disesase) harus bisa membatasinya. Namun kita tidak dapat menyimpulkan secara langsung bahwa semua makanan khas Makassar dapat merugikan kesehatan.
Jika dikaitkan dengan budaya kumpul ketika waktu makan, seorang ibu sering memerhatikan apa yang dikonsumsi anaknya ketika makan. Jika anak hanya mengambil nasi dan ayam atau daging ibu akan marah, jika anak hanya makan nasi, sayur, dan kerupuk ibu juga akan menegur anaknya. Ketika anak mengkonsumsi makanan lengkap seperti nasi, sayur, daging, kerupuk, dan buah maka ibu akan senang. Pola seperti inilah yang akan terus tertanam pada anak hingga dewasa, sehingga penerapan pola gizi seimbang dapat dilakukan ditengah-tengah kondisi menjamurnya fast food lokal di Makassar.
Sebagai perbandingan, berdasarkan data Riskesdas 2007 bahwa konsumsi makanan manis di kota Makassar mencapai 78,5% (Sulsel 60,1%) sedangkan yang berlemak 13,0% (Sulsel 6,8%) dan jeroan 2,7% (Sulsel hanya 1,5%), sedangkan untuk konsumsi sayuran sangat kurang bahkan mencapai 91% (usia >10 tahun). Tingkat konsumsi makanan manis, berlemak, dan jeroan yang cukup tinggi di kota Makassar mungkin saja terjadi mengingat sejak pertengahan tahun 2004 perkembangkan restoran fast food lokal yang menyajikan makanan-makanan berlemak dan jeroan terus meningkat. Tingkat konsumsi makanan manis, berlemak, dan jeroan menurun seiring bertambahnya umur, berarti dapat disimpulkan bahwa yang lebih banyak menikmati fast food lokal ini adalah anak-anak dan remaja. Tentunya peranan orang tua sangat penting yakni harus dapat mengontrol mengajarkan anaknya bahwa konsumsi coto Makassar, sop saudara, sop konro, dan jajanan tradisional yang manis boleh-boleh saja selama tidak dilakukan setiap hari dan menjadi kebiasaan. Selain itu budaya makan bersama tiap waktu makan tiba harus terus dilestarikan oleh masyarakat Bugis-Makassar untuk menanamkan kepada anak bahwa makan makanan yang dimasak dirumah lebih baik dibandingkan dengan makan di restoran fast food lokal tersebuthttp://kesehatan.kompasiana.com/makanan/2012/11/27/budaya-makan-lokal-dan-perbaikan-gizi-512265.html

budaya tradisional


BUDAYA TRADISIONAL
Belum lama kita menghadapi masalah yang cukup menghebohkan lantaran budaya tradisional negeri kita tercinta ini dianggap telah dicuri oleh salah satu negeri tetangga. Semisal batik, angklung hingga lagu-lagu rakyat. Pencurian budaya tradisional itu menimbulkan amarah rakyat Indonesia yang tidak rela budaya mereka diakui sebagai milik negara lain.
Namun permasalahan itu juga membuat kita tersentak bahwa selama ini ternyata kita telah mengabaikan budaya tradisional sendiri sehingga kecolongan oleh bangsa lain yang lebih pandai memanfaatkannya untuk kepentingan mereka. Apakah kita memang patut dipersalahkan karena ternyata gagal memelindungi budaya bangsa sendiri? Sebenarnya tidak mudah menjawab pertanyaan itu.
Sebab kehidupan manusia sendiri tidak pernah statis dan pada seiring waktu akan selalu mengalami perubahan sosial termasuk pula budaya yang menurut Selo Soemardjan dan Soleiman Soemardi dari FISIP-UI adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Sehingga mau tidak mau kita akan mengalami perubahan dari budaya lama menjadi budaya baru yang mungkin sebagian atau seluruhnya berbeda dari sebelumnya.
Jika pada zaman dahulu perubahan budaya biasanya terjadi dalam waktu lama dan gradual, namun pada zaman yang kian modern berkat kemajuan teknologi dan juga globalisasi dalam segala aspek kehidupan manusia di bumi ini sehingga perubahan budaya terjadi cukup cepat dan tidak jarang radikal. Tidak heran jika di Indonesia pun terjadi kegamangan budaya karena intervensi budaya modern dari luar yang makin gencar.
Selain itu, generasi muda kita sebagai produk modernisme semakin kurang tertarik terhadap hal-hal yang berbau tradisi karena dianggap kuno, ketinggalan zaman dan hanya milik generasi tua belaka. Menghadapi keadaan itu, pemerintah dan segenap kelompok masyarakat yang peduli sebenarnya tidak tinggal diam. Karena bagaimanapun budaya tradisional patut dilindungi dan dilestarikan.http://budayatradisional.blogspot.com/

budaya tawuran


BUDAYA TAWURAN

Pertama penulis akan kedepankan pandangan sosiologi budaya mengenai penyimpangan sosial yang kerap dilakukan anak dalam tiga pilar utama pendidikan. Dalam tataran awal, dalam lingkungan keluarga, kita meyakini bahwa orang tua selalu mengajarkan dan mendidik anak- anaknya agar mampu bertindak dan berprilaku sesuai dengan nilai-nilai atau norma sosial yang berlaku. Orang tua mendidik anak-anaknya dengan norma agama, etika, sopan santun, adat istiadat tentu yang memiliki tujuan. Tujuan mereka agar anaknya nanti menjadi anak yang berguna bagi Nusa dan Bangsa. Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa dalam  lingkungan keluarga terjadi penerapan yang salah dari orang tua terhadap anak. Orang tua dalam kapasitasnya sebagai pemasuk sumber ekonomi kerap tidak memperhatikan anak, atau kebutuhan anak dan orang tua hanya berpatokan pada pemenuhan kebutuhan sandang dan pangan tanpa melihat karakter dan pergaulan anak di lingkungan masyarakat.

Jika ditilik dari sisi kemiskinan sebagai salah satu faktor kekerasan atau tawuran antar pelajar itu maka penulis tidak setuju. Bagi sebagian besar orang tua gambaran kasih sayang yang berlebihan sama sekali tidak baik kepada anak. Dengan mudah anak memiliki handphone canggih yang harganya mahal dan justru mempermudah anak untuk belajar hal hal yang belum pantas dipelajari. Padahal jika menilik dari kelengkapan sarana anak belajar di rumah, maka dalam hal ini orang tua mengedepankan kebutuhan anak di luar belajar, motor dan bahkan mobil  sesungguhnya bukan sebagai penunjang dari proses belajar itu.

Keluarga juga dalam hal ini orang tua terkesan membela anak dalam kesalahan kesalahan yang dilakukan anak disekolah. Siapa yang melakukan tawuran antarpelajar mungkin ada diantara mereka anak pejabat, siapa yang melakukan balapan liar? Apakah orang miskin bisa dengan mudah mendapatkan fasilitas begitu, dan yang melakukan seks bebas pelajar dari kalangan mana? Jadi kemiskinan bukan faktor tawuran antar pelajar.

Yang kedua dalam lingkungan masyarakat, anak memiliki kebutuhan yang tidak semuanya dapat dipenuhi oleh keluarga sehingga anak keluar rumah dan menemukan orang lain atau faktor lain yang dapat memenuhi kebutuhannya. Kasih sayang yang tidak ditemukan dalam keluarganya ditemukan dalam diri orang lain. Kenyataan ini sering kita lihat dari anak yang cenderung melanggar norma norma sosial setelah beradaptasi dalam masyarakat. Hampir tiap hari kita melihat bahwa tidak ada lagi batasan-batasan pergaulan antara anak yang masih sekolah dengan pengangguran yang bertebaran diseluruh sudut kota bahkan sampai ke desa.

Yang ketiga lingkungan sekolah. Kecenderungan kita selama ini ketika terjadi penyimpangan sosial oleh anak dalam kapasitasnya sebagai pelajar maka kita mengkambing hitamkan sekolah.  Perlu diketahui keterbatasan keluarga mengakibatkan keluarga tersebut mencari lembaga lain untuk memenuhi kebutuhan anaknya yang salah satu diantaranya kebutuhan akan pendidikan. Akan tetapi yang paling penting atau paling mendasar adalah baik dan buruknya penerapan norma-norma agama, etika, sopan santun, adat istiadat kepada anak oleh orang tua mau tidak mau akan terbawa ke sekolah. Memang ada hal-hal lain yang sangat prinsip yang harus dilakukan sekolah dalam pembinaan karakter dan mental anak, akan tetapi inipun tidak akan berguna jika tidak mendapat dukungan dari keluarga dan masyarakat.


Dewasa ini guru sudah kehilangan fungsinya sebagai pendidik karena dibatasi aturan-aturan tentang fungsi guru sebagai pendidik. Masih jelas terngiang di ingatan kita banyak guru yang harus berurusan dengan hukum hanya karena menjewer telinga anak dan bentuk hukuman lain. Perlu kita ketahui bahwa guru dalam menghukum tetap mengedepankan kasih sayang, cinta kasih terhadap anak, hal ini jarang mendapatkan apresiasi dari orang tua murid atau pun masyarakat.

Memang zaman sekarang sekolah terlalu mengedepankan nilai-nilai akademik demi menunjang tingkat kelulusan ataupun kenaikan kelas karena pada kenyataannya keluarga dan masyarakat terkadang tidak bisa menerima apabila anak dinyatakan tidak lulus atau tidak naik kelas. Kondisi itu diperparah hanya demi sebuah prestasi sekolah  lulus 100%, dan demi predikat dinyatakan sekolah yang baik yang bermuara pada persaingan antarsekolah.http://haluankepri.com/opini-/36059-budaya-tawuran-antarpelajar.html