Minggu, 20 Januari 2013

budaya tawuran


BUDAYA TAWURAN

Pertama penulis akan kedepankan pandangan sosiologi budaya mengenai penyimpangan sosial yang kerap dilakukan anak dalam tiga pilar utama pendidikan. Dalam tataran awal, dalam lingkungan keluarga, kita meyakini bahwa orang tua selalu mengajarkan dan mendidik anak- anaknya agar mampu bertindak dan berprilaku sesuai dengan nilai-nilai atau norma sosial yang berlaku. Orang tua mendidik anak-anaknya dengan norma agama, etika, sopan santun, adat istiadat tentu yang memiliki tujuan. Tujuan mereka agar anaknya nanti menjadi anak yang berguna bagi Nusa dan Bangsa. Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa dalam  lingkungan keluarga terjadi penerapan yang salah dari orang tua terhadap anak. Orang tua dalam kapasitasnya sebagai pemasuk sumber ekonomi kerap tidak memperhatikan anak, atau kebutuhan anak dan orang tua hanya berpatokan pada pemenuhan kebutuhan sandang dan pangan tanpa melihat karakter dan pergaulan anak di lingkungan masyarakat.

Jika ditilik dari sisi kemiskinan sebagai salah satu faktor kekerasan atau tawuran antar pelajar itu maka penulis tidak setuju. Bagi sebagian besar orang tua gambaran kasih sayang yang berlebihan sama sekali tidak baik kepada anak. Dengan mudah anak memiliki handphone canggih yang harganya mahal dan justru mempermudah anak untuk belajar hal hal yang belum pantas dipelajari. Padahal jika menilik dari kelengkapan sarana anak belajar di rumah, maka dalam hal ini orang tua mengedepankan kebutuhan anak di luar belajar, motor dan bahkan mobil  sesungguhnya bukan sebagai penunjang dari proses belajar itu.

Keluarga juga dalam hal ini orang tua terkesan membela anak dalam kesalahan kesalahan yang dilakukan anak disekolah. Siapa yang melakukan tawuran antarpelajar mungkin ada diantara mereka anak pejabat, siapa yang melakukan balapan liar? Apakah orang miskin bisa dengan mudah mendapatkan fasilitas begitu, dan yang melakukan seks bebas pelajar dari kalangan mana? Jadi kemiskinan bukan faktor tawuran antar pelajar.

Yang kedua dalam lingkungan masyarakat, anak memiliki kebutuhan yang tidak semuanya dapat dipenuhi oleh keluarga sehingga anak keluar rumah dan menemukan orang lain atau faktor lain yang dapat memenuhi kebutuhannya. Kasih sayang yang tidak ditemukan dalam keluarganya ditemukan dalam diri orang lain. Kenyataan ini sering kita lihat dari anak yang cenderung melanggar norma norma sosial setelah beradaptasi dalam masyarakat. Hampir tiap hari kita melihat bahwa tidak ada lagi batasan-batasan pergaulan antara anak yang masih sekolah dengan pengangguran yang bertebaran diseluruh sudut kota bahkan sampai ke desa.

Yang ketiga lingkungan sekolah. Kecenderungan kita selama ini ketika terjadi penyimpangan sosial oleh anak dalam kapasitasnya sebagai pelajar maka kita mengkambing hitamkan sekolah.  Perlu diketahui keterbatasan keluarga mengakibatkan keluarga tersebut mencari lembaga lain untuk memenuhi kebutuhan anaknya yang salah satu diantaranya kebutuhan akan pendidikan. Akan tetapi yang paling penting atau paling mendasar adalah baik dan buruknya penerapan norma-norma agama, etika, sopan santun, adat istiadat kepada anak oleh orang tua mau tidak mau akan terbawa ke sekolah. Memang ada hal-hal lain yang sangat prinsip yang harus dilakukan sekolah dalam pembinaan karakter dan mental anak, akan tetapi inipun tidak akan berguna jika tidak mendapat dukungan dari keluarga dan masyarakat.


Dewasa ini guru sudah kehilangan fungsinya sebagai pendidik karena dibatasi aturan-aturan tentang fungsi guru sebagai pendidik. Masih jelas terngiang di ingatan kita banyak guru yang harus berurusan dengan hukum hanya karena menjewer telinga anak dan bentuk hukuman lain. Perlu kita ketahui bahwa guru dalam menghukum tetap mengedepankan kasih sayang, cinta kasih terhadap anak, hal ini jarang mendapatkan apresiasi dari orang tua murid atau pun masyarakat.

Memang zaman sekarang sekolah terlalu mengedepankan nilai-nilai akademik demi menunjang tingkat kelulusan ataupun kenaikan kelas karena pada kenyataannya keluarga dan masyarakat terkadang tidak bisa menerima apabila anak dinyatakan tidak lulus atau tidak naik kelas. Kondisi itu diperparah hanya demi sebuah prestasi sekolah  lulus 100%, dan demi predikat dinyatakan sekolah yang baik yang bermuara pada persaingan antarsekolah.http://haluankepri.com/opini-/36059-budaya-tawuran-antarpelajar.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar