Minggu, 20 Januari 2013

BUDAYA MAKAN LOKAL

BUDAYA MAKAN LOKAL
Dalam Budaya Bugis-Makassar telah tertanam secara tidak tertulis aturan bahwa dalam satu keluarga makan bersama merupakan suatu keharusan dan hal ini sudah menjadi tradisi turun temurun. Hampir semua sesi makan (pagi, siang dan malam) khususnya makan malam wajib diikuti oleh semua anggota keluarga. Tradisi makan bersama sambil duduk bersila, membentuk sebuah lingkaran kecil, serta semua menu makanan diletakkan dalam sebuah tempayang besar yang diletakkan ditengah-tengah lingkaran adalah hal yang sering dijumpai pada keluarga suku bugis makassar.
Ada banyak manfaat yang bisa diperoleh dari makan bersama, salah satunya ialah orang tua dapat mengontrol makanan yang di konsumsi oleh anak-anak mereka. Sering kita jumpai ketika dalam suatu keluarga yang sedang makan bersama kemudian ada salah satu anak yang tidak makan ikan, maka serta merta ibu atau bapak akan langsung menegur dalam dialek bugis Makassar “……eh…. Makan ki ini ikan, sayur juga, kenapakah tidak makan sayur….”. Anak-anak yang ditegur seperti itu akan langsung menuruti perintah ibu, tanpa ada penolakan, meskipun dengan perasaan terpaksa. Tapi, secara tidak langsung hal itu sebagai bentuk pendidikan yang diberikan ibu kepada anak-anaknya untuk selalu makan ikan dan sayur, dan hal tersebut akan selalu teringat oleh anak hingga dewasa.
Selain kebiasaan makan dalam keluarga, ada hal lain yang dapat dijumpai pada masyarakat suku Bugis-Makassar. Diantaranya adalah yang tinggi gula yang sering ada pada saat pesta dan perayaan-perayaan tertentu seperti kue cucur bayao, pisang ijo, dan pisang goreng balanda. Kue cucur, barongko, serta pisang goreng balanda dibuat dengan menggunakan telur dan gula yang banyak sehingga menjadikan rasa kue ini sangat manis. Selain itu, makanan yang berbahan tinggi lemak dan kalori seperti konro, coto Makassar, dan Sop saudara sudah menjadi makanan sehari-hari masyarakat Makassar.
PERMASALAHAN
Bagi kalangan muda dan anak-anak di kota Makasar, makanan barat lebih diminati daripada makanan tradisonal, atau makanan yang biasa dimakan di rumah. Hal itu disebabkan untuk mencari suasan baru dan ketertarikan anak-anak muda pada kemasan dan tempat yang menarik. Dalam pesta pernikahan maupun acara adat lainnya hidangan tradisional masih mendominasi jenis hidangan yang ditampilkan. Jenis-jenis makanan dari Barat juga mulai hadir dalam acara-acara adat, meskipun tidak mencolok. Hal itu disebabkan oleh kemampuan ekonomi masyarakatnya. Dengan demikian nampak suatu pandangan bahwa makanan barat mahal, sementara makanan tradisional murah (Sedyawati dan Mulyadi, 2007).
Coto makassar yang berbahan jeroan seringkali dianggap sebagai biang kerok timbulnya berbagai penyakit berbahaya seperti: jantung koroner, stroke, dan asam urat sehingga sebaiknya konsumsi coto makassar ini dihindari. Tapi sebagian orang tetap tidak peduli, terbukti masih banyak pengunjung yang memadati restoran, rumah makan, kafe ataupun warung -warung coto makassar baik pagi, siang ataupun malam. Ada juga suatu istilah bagi masyarakat Makassar yaitu garring coto (sakit coto), misalnya pada orang yang sedang letih karena kerja berat, sakit flu, masuk angin, dan kurang enak badan akan segera sembuh ketika sudah memakan satu porsi coto makassar. Coto Makassar ini sering dikonsumsi bersama ketupat, biasanya satu porsi coto dimakan bersama 2-3 buah ketupat (450 gr), sehingga menjadikan makanan coto Makassar ini sebagai makanan yang tinggi kalori tinggi lemak dan tergolong fast food lokal.
Sop saudara dan Sop konro/konro bakar juga tidak jauh berbeda dengan coto Makassar, makanan yang hanya mengandung daging sapi ini tidak kalah populernya dengan coto. Hanya saja sop konro dan sop saudara harganya lebih mahal dibandingkan dengan coto Makassar, oleh karena itu digolongkan makanan untuk kelas menengah keatas. Makanan ini juga tergolong fast food lokal yang mengandung lemak tinggi, dan hanya dikonsumsi dengan nasi sehingga menjadikannya sebagai menu yang tidak seimbang. Tentunya bagi orang yang memiliki riwayat penyakit tidak menular dan yang obesitas harus menghindari menu makanan ini, namun hal itu sangat sulit dilakukan mengingat tempat makan yang ada di kota Makassar sudah menjamur dan menyediakan menu tersebut. Untuk jenis kue tradisional, karena sebagian besar mengandung gula yang tinggi sehingga bagi penderita diabetes harus bisa membatasi konsumsi jenis kue tersebut. Walaupun agak sulit mengingat kue-kue tersebut hampir selalu ada disetiap acara-acara yang diadakan masyarakat Bugis-Makassar.
PEMBAHASAN
Berdasarkan gambaran makanan khas suku Bugis-Makassar diatas, memang kebanyakan mengandung lemak, kalori, dan gula yang tinggi sehingga bagi orang yang memiliki penyakit non infeksi (non communicable disesase) harus bisa membatasinya. Namun kita tidak dapat menyimpulkan secara langsung bahwa semua makanan khas Makassar dapat merugikan kesehatan.
Jika dikaitkan dengan budaya kumpul ketika waktu makan, seorang ibu sering memerhatikan apa yang dikonsumsi anaknya ketika makan. Jika anak hanya mengambil nasi dan ayam atau daging ibu akan marah, jika anak hanya makan nasi, sayur, dan kerupuk ibu juga akan menegur anaknya. Ketika anak mengkonsumsi makanan lengkap seperti nasi, sayur, daging, kerupuk, dan buah maka ibu akan senang. Pola seperti inilah yang akan terus tertanam pada anak hingga dewasa, sehingga penerapan pola gizi seimbang dapat dilakukan ditengah-tengah kondisi menjamurnya fast food lokal di Makassar.
Sebagai perbandingan, berdasarkan data Riskesdas 2007 bahwa konsumsi makanan manis di kota Makassar mencapai 78,5% (Sulsel 60,1%) sedangkan yang berlemak 13,0% (Sulsel 6,8%) dan jeroan 2,7% (Sulsel hanya 1,5%), sedangkan untuk konsumsi sayuran sangat kurang bahkan mencapai 91% (usia >10 tahun). Tingkat konsumsi makanan manis, berlemak, dan jeroan yang cukup tinggi di kota Makassar mungkin saja terjadi mengingat sejak pertengahan tahun 2004 perkembangkan restoran fast food lokal yang menyajikan makanan-makanan berlemak dan jeroan terus meningkat. Tingkat konsumsi makanan manis, berlemak, dan jeroan menurun seiring bertambahnya umur, berarti dapat disimpulkan bahwa yang lebih banyak menikmati fast food lokal ini adalah anak-anak dan remaja. Tentunya peranan orang tua sangat penting yakni harus dapat mengontrol mengajarkan anaknya bahwa konsumsi coto Makassar, sop saudara, sop konro, dan jajanan tradisional yang manis boleh-boleh saja selama tidak dilakukan setiap hari dan menjadi kebiasaan. Selain itu budaya makan bersama tiap waktu makan tiba harus terus dilestarikan oleh masyarakat Bugis-Makassar untuk menanamkan kepada anak bahwa makan makanan yang dimasak dirumah lebih baik dibandingkan dengan makan di restoran fast food lokal tersebuthttp://kesehatan.kompasiana.com/makanan/2012/11/27/budaya-makan-lokal-dan-perbaikan-gizi-512265.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar