BUDAYA MAKAN LOKAL
Dalam
Budaya Bugis-Makassar telah tertanam secara tidak tertulis aturan bahwa
dalam satu keluarga makan bersama merupakan suatu keharusan dan hal ini
sudah menjadi tradisi turun temurun. Hampir semua sesi makan (pagi,
siang dan malam) khususnya makan malam wajib diikuti oleh semua anggota
keluarga. Tradisi makan bersama sambil duduk bersila, membentuk sebuah
lingkaran kecil, serta semua menu makanan diletakkan dalam sebuah
tempayang besar yang diletakkan ditengah-tengah lingkaran adalah hal
yang sering dijumpai pada keluarga suku bugis makassar.
Ada
banyak manfaat yang bisa diperoleh dari makan bersama, salah satunya
ialah orang tua dapat mengontrol makanan yang di konsumsi oleh anak-anak
mereka. Sering kita jumpai ketika dalam suatu keluarga yang sedang
makan bersama kemudian ada salah satu anak yang tidak makan ikan, maka
serta merta ibu atau bapak akan langsung menegur dalam dialek bugis
Makassar “……eh…. Makan ki ini ikan, sayur juga, kenapakah tidak makan sayur….”.
Anak-anak yang ditegur seperti itu akan langsung menuruti perintah ibu,
tanpa ada penolakan, meskipun dengan perasaan terpaksa. Tapi, secara
tidak langsung hal itu sebagai bentuk pendidikan yang diberikan ibu
kepada anak-anaknya untuk selalu makan ikan dan sayur, dan hal tersebut
akan selalu teringat oleh anak hingga dewasa.
Selain
kebiasaan makan dalam keluarga, ada hal lain yang dapat dijumpai pada
masyarakat suku Bugis-Makassar. Diantaranya adalah yang tinggi gula yang
sering ada pada saat pesta dan perayaan-perayaan tertentu seperti kue
cucur bayao, pisang ijo, dan pisang goreng balanda. Kue cucur, barongko,
serta pisang goreng balanda dibuat dengan menggunakan telur dan gula
yang banyak sehingga menjadikan rasa kue ini sangat manis. Selain itu,
makanan yang berbahan tinggi lemak dan kalori seperti konro, coto
Makassar, dan Sop saudara sudah menjadi makanan sehari-hari masyarakat
Makassar.
PERMASALAHAN
Bagi
kalangan muda dan anak-anak di kota Makasar, makanan barat lebih
diminati daripada makanan tradisonal, atau makanan yang biasa dimakan di
rumah. Hal itu disebabkan untuk mencari suasan baru dan ketertarikan
anak-anak muda pada kemasan dan tempat yang menarik. Dalam pesta
pernikahan maupun acara adat lainnya hidangan tradisional masih
mendominasi jenis hidangan yang ditampilkan. Jenis-jenis makanan dari
Barat juga mulai hadir dalam acara-acara adat, meskipun tidak mencolok.
Hal itu disebabkan oleh kemampuan ekonomi masyarakatnya. Dengan demikian
nampak suatu pandangan bahwa makanan barat mahal, sementara makanan
tradisional murah (Sedyawati dan Mulyadi, 2007).
Coto
makassar yang berbahan jeroan seringkali dianggap sebagai biang kerok
timbulnya berbagai penyakit berbahaya seperti: jantung koroner, stroke,
dan asam urat sehingga sebaiknya konsumsi coto makassar ini dihindari.
Tapi sebagian orang tetap tidak peduli, terbukti masih banyak pengunjung
yang memadati restoran, rumah makan, kafe ataupun warung -warung coto
makassar baik pagi, siang ataupun malam. Ada juga suatu istilah bagi
masyarakat Makassar yaitu garring coto (sakit coto), misalnya
pada orang yang sedang letih karena kerja berat, sakit flu, masuk angin,
dan kurang enak badan akan segera sembuh ketika sudah memakan satu
porsi coto makassar. Coto Makassar ini sering dikonsumsi bersama
ketupat, biasanya satu porsi coto dimakan bersama 2-3 buah ketupat (450
gr), sehingga menjadikan makanan coto Makassar ini sebagai makanan yang
tinggi kalori tinggi lemak dan tergolong fast food lokal.
Sop
saudara dan Sop konro/konro bakar juga tidak jauh berbeda dengan coto
Makassar, makanan yang hanya mengandung daging sapi ini tidak kalah
populernya dengan coto. Hanya saja sop konro dan sop saudara harganya
lebih mahal dibandingkan dengan coto Makassar, oleh karena itu
digolongkan makanan untuk kelas menengah keatas. Makanan ini juga
tergolong fast food lokal yang mengandung lemak tinggi, dan hanya
dikonsumsi dengan nasi sehingga menjadikannya sebagai menu yang tidak
seimbang. Tentunya bagi orang yang memiliki riwayat penyakit tidak
menular dan yang obesitas harus menghindari menu makanan ini, namun hal
itu sangat sulit dilakukan mengingat tempat makan yang ada di kota
Makassar sudah menjamur dan menyediakan menu tersebut. Untuk jenis kue
tradisional, karena sebagian besar mengandung gula yang tinggi sehingga
bagi penderita diabetes harus bisa membatasi konsumsi jenis kue
tersebut. Walaupun agak sulit mengingat kue-kue tersebut hampir selalu
ada disetiap acara-acara yang diadakan masyarakat Bugis-Makassar.
PEMBAHASAN
Berdasarkan
gambaran makanan khas suku Bugis-Makassar diatas, memang kebanyakan
mengandung lemak, kalori, dan gula yang tinggi sehingga bagi orang yang
memiliki penyakit non infeksi (non communicable disesase) harus bisa
membatasinya. Namun kita tidak dapat menyimpulkan secara langsung bahwa
semua makanan khas Makassar dapat merugikan kesehatan.
Jika
dikaitkan dengan budaya kumpul ketika waktu makan, seorang ibu sering
memerhatikan apa yang dikonsumsi anaknya ketika makan. Jika anak hanya
mengambil nasi dan ayam atau daging ibu akan marah, jika anak hanya
makan nasi, sayur, dan kerupuk ibu juga akan menegur anaknya. Ketika
anak mengkonsumsi makanan lengkap seperti nasi, sayur, daging, kerupuk,
dan buah maka ibu akan senang. Pola seperti inilah yang akan terus
tertanam pada anak hingga dewasa, sehingga penerapan pola gizi seimbang
dapat dilakukan ditengah-tengah kondisi menjamurnya fast food lokal di
Makassar.
Sebagai
perbandingan, berdasarkan data Riskesdas 2007 bahwa konsumsi makanan
manis di kota Makassar mencapai 78,5% (Sulsel 60,1%) sedangkan yang
berlemak 13,0% (Sulsel 6,8%) dan jeroan 2,7% (Sulsel hanya 1,5%),
sedangkan untuk konsumsi sayuran sangat kurang bahkan mencapai 91% (usia
>10 tahun). Tingkat konsumsi makanan manis, berlemak, dan jeroan
yang cukup tinggi di kota Makassar mungkin saja terjadi mengingat sejak
pertengahan tahun 2004 perkembangkan restoran fast food lokal yang
menyajikan makanan-makanan berlemak dan jeroan terus meningkat. Tingkat
konsumsi makanan manis, berlemak, dan jeroan menurun seiring
bertambahnya umur, berarti dapat disimpulkan bahwa yang lebih banyak
menikmati fast food lokal ini adalah anak-anak dan remaja. Tentunya
peranan orang tua sangat penting yakni harus dapat mengontrol
mengajarkan anaknya bahwa konsumsi coto Makassar, sop saudara, sop
konro, dan jajanan tradisional yang manis boleh-boleh saja selama tidak
dilakukan setiap hari dan menjadi kebiasaan. Selain itu budaya makan
bersama tiap waktu makan tiba harus terus dilestarikan oleh masyarakat
Bugis-Makassar untuk menanamkan kepada anak bahwa makan makanan yang
dimasak dirumah lebih baik dibandingkan dengan makan di restoran fast food lokal tersebuthttp://kesehatan.kompasiana.com/makanan/2012/11/27/budaya-makan-lokal-dan-perbaikan-gizi-512265.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar